Tuesday, November 18, 2014

Dracula dan Kenyataan Sejarah

Dracula dalam Kenyataan Sejarah Dunia Ketika mendengar kata Dracula, maka yang terbayang adalah sosok menyeramkan dengan taring tajam yang haus darah. Sebuah imajinasi mengerikan dari igauan Bram Stoker dengan novelnya yang berjudul Dracula. Ternyata imaji konyol Bram Stoker mampu mencuci otak jutaan manusia sehingga tidak menyadari realita sebenarnya. Ditambah lagi film-film yang muncul dengan tema yang sama, seperti Dracula’s Daughter (1936), Son of Dracula (1943), Horror of Dracula (1958), Nosferatu (1922) yang dilansir ulang tahun 1979, berikut film-film yang muncul setelahnya, menjadikan sosok Dracula menjadi lebih kabur.

Padahal, penjajahan sejarah telah terjadi, dan itu dilakukan Barat yang berusaha menutupi aibnya karena khawatir terbaca dalam catatan historis peradaban dunia. Akhirnya, sosok Dracula yang dalam kehidupan nyatanya sangat akrab dengan perang Salib didistorsi sehingga mengesankan bahwa dracula adalah tokoh fiktif yang tidak pernah muncul dalam pentas sejarah. Sosok kejam, pembantai umat Muslim paling sadis, mereka gambarkan sebagai manusia haus darah dan hanya bisa ditumpas dengan salib dan bawang merah.

Hyphatia Cneajna lewat bukunya yang berjudul “Dracula, Pembantai Umat Islam Dalam Perang Salib” mengupas tuntas siapa sebenarnya Dracula. Dalam buku ini dipaparkan bahwa Dracula adalah pangeran Wallachia, keturunan Vlad Dracul. Ia dilahirkan pada tahun 1431 M. Di Transylvania, Rumania. Tidak ada catatan pasti tanggal kelahirannya, hanya saja sejarawan memperkirakan ia lahir di bulan November atau Desember. Ia anak kedua dari Vlad II melalui istrinya yang bernama Cnejna, putri dari Moldavian. Ketika itu, kerajaan Turki Ottoman yang mewakili Islam terlibat peperangan dengan Kerajaan Hongaria yang mewakili Kristen. Kedua kerajaan besar itu saling mengalahkan demi mempertahankan atau merebut wilayah kekuasaan, baik yang berada di Eropa maupun Asia. Puncaknya, Konstantinopel yang menjadi pusat sekaligus benteng pertahanan Kristen jatuh ke tangan Turki Ottoman yang dipimpin Sultan Mahmud II pada tahun 1453 M.


Meski di masa kecilnya Dracula hidup di lingkungan Islam sebagai bukti kesetiaan Vlad II terhadap Turki Ottoman, pendidikan Islam sama sekali tidak masuk ke dalam jiwanya. Justru ia hanya senang belajar ilmu perang dan gemar menyunduk hewan-hewan kecil seperti kecoak, laba-laba, tikus, burung dan lainnya. Dracula akan terlihat puas jika melihat hewan-hewan yang ia sunduk menggelepar menunggu ajal.

Setelah hidup di Turki dan menjadi raja Wallachia, kebiasaan buruk itu semakin menjadi-jadi. Bisa dikatakan, pemerintahan Dracula adalah sejarah paling kelam bagi Wallachia. Sejarah yang diwarnai teror dan perilaku keji. Kapan dan di mana pun dapat dipastikan ada pembunuhan sadis. Maka dari itu, tidak heran jika penduduk sekitar Wallachia menggambarkan Dracula sebagai titisan setan yang haus akan darah. Dari itulah kemungkinan legenda tentang vampir bermula, sehingga dalam perkembangannya mitos Dracula adalah vampir. Mitos itu terus bergulir sehingga dapat menutupi fakta sebenarnya tentang siapa Dracula itu. Pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam terus dilakukan Dracula. Umat Islam Wallachia diburu dan dibantai habis. Beberapa kali Sultan Mahmud II mengirim utusan kepada Dracula agar menghentikan kekejamannya. Namun, utusan itu tidak pernah ia gubris dan bahkan utusan yang menemuinya tidak luput dari prilaku bengisnya. Inilah yang menjadi titik awal terjadinya peperangan antara Sultan Mahmud II dan Dracula. Sebenarnya, perang antara Dracula dengan Sultan Mehmed II ini merupakan salah satu babak dari rentetan Perang Salib. Dracula yang merupakan salah satu panglima pasukan Salib di Wallachia dikenal sadis dan biadab dalam membunuh pasukan Muslim. Diperkirakan jumlah korban kekejaman Dracula mencapai 300.000 ribu umat Islam. Jumlah itu tidak termasuk pasukan dan rakyatnya sendiri yang membangkang, atau sekedar ingin memuaskan nafsu biadabnya yang senang ketika melihat manusia sekarat di atas penyulaan. Ada yang dibakar hidup-hidup atau dipaku kepalanya. Namun yang paling biadab adalah dengan disula. Siksaan dengan ditusuk mulai dari anus dengan kayu yang setelah ditusuk kemudian dipancangkan sehingga kayu sula menembus melewati perut, kerongkongan, hingga kepala. Kadang hanya sampai menembus perut dan dada. Tidak hanya orang dewasa yang diperlakukan demikian, anak kecil pun tak luput dari kebiadabannya. Hyphatia menggambarkan kesadisan tersebut: “Bayi-bayi yang disula tak sempat menangis lagi karena mereka langsung sekarat begitu ujung sula menembus perut mungilnya. Tubuh-tubuh para korban itu meregang di kayu sula untuk menjemput ajal.”

Anehnya, kendati jeritan korbanya begitu menyedihkan, Dracula justru menikmatinya. Baginya, menyiksa dan menumpahkan penderitaan orang-orang Muslim adalah suatu pekerjaan yang paling menyenangkan. Kebengisan Dracula baru terhenti ketika ia tewas dalam pertempuran melawan pasukan Turki Ottoman di pinggir Danau Scagov pada tahun 1476. Saat itu ia mempimpin pasukan Salib untuk menghadang umat Islam yang akan menyerbu pasukan Salib.
Akhirnya, kepala Dracula dipenggal oleh pasukan Muslim dan dibawa ke Kostantinopel sebagai bukti bahwa ia di telah tewas. Oleh Sultan Mahmud II kepala tersebut dipancang di alun-alun selama beberapa hari. Sedangkan tubuh Dracula sendiri dipendam di dalam Gereja Snagov, persis berada di depan altar suci yang berada di dalam Gereja. Selama ini, sosok Dracula yang berbalut kekejaman itu tidak begitu dikenal. Sejarah sebenarnya telah tertutupi dengan gempuran fiksi dan film-film Barat. Kekejaman Dracula sepertinya terpendam dan tidak pernah terjadi dalam pentas sejarah dunia. Setidaknya, keterlibatan Dracula dalam Perang Salib yang didukung sepenuhnya oleh Barat, menjadi alasan utama dari penyimpangan ini. Barat tidak mau boroknya diketahui dunia, apalagi Dracula telah dianggap sebagai super hero atau pahlawan bagi pasukan Salib, sehingga betapapun kejamnya, maka dia akan selalu dilindungi nama baiknya.

Harus diakui memang, usaha Barat untuk mendistorsi sejarah Dracula dengan memutarbalikkan fakta menjadi fiksi dinilai telah berhasil. Hal itu dapat kita lihat dari realitas umat Islam sendiri yang tidak mengetahui Dracula sebenarnya. Jika mereka ditanyakan siapa Dracula, maka dapat dipastikan akan memberi penjelasan seperti apa yang telah umum selama ini bahwa Dracula adalah vampir yang haus darah. Dia hanya bisa dikalahkan dengan Salib dan bawang putih. Justru Sultan Mahmud II yang menjadi pahlawan Islam tidak terlintas di pikiran umat Islam. Seakan mereka tidak mengenal sang penakluk Kostantinopel dan bergelar al-Fâtih ini. Padahal, diakui atau tidak, Mahmud II merupakan batu sandungan terbesar bagi ambisi pasukan Salib untuk menguasai dunia setelah Salahuddin al-Ayubi.
Mengenai penggunakan simbol salib, tak lain merupakan cara Barat untuk menghapus kekejian pasukan Kristen, sekaligus menunjukkan superioritas, seolah-olah mereka adalah pahlawan. Namun, bagaimanapun usaha pencitraan yang dilakukan Barat kini dunia telah membacanya. Setidaknya, tentang Dracula ini kita dapat mengetahui tabiat asli orang-orang Barat terhadap Islam. Dan itu tidak pernah berubah hingga detik ini.

Oleh : Masyhuri MH (Staf pengajar di Madrasah Miftahul Ulum Tingkat Tsnawaiyah Pondok Pesantren Sidogiri. Tulisan ini dimuat di Buletin Sidogiri Edisi 36/TahunIV/ Muharram- Shafar 1430 H.

0 comments:

Post a Comment